12 February 2010

Bijak Ketika Menawar..

Assalamualaikum...

nahhh.. seperti biasa kita kongsi lagi cerita dari negara seberang ini.. bila di baca dan diamati.. memang ada btulnya.. walaupun kadang2 kita rasa beruntung bila ketika kita shopping kita mendapat harga yg paling murah.. tapi herankan.. kalau shopping di mall.. mau minta kurang harga pastinya kita tidak akan lakukannya.. cuma bila ada potogan harga kira beruntung.. bila difikir secara dalam2nya.. harga murah yg mereka tawarkan pastiya masih ada keuntungan bagi si empunya mall.. berbeza dengan penjual tepi jalan.. yang hanya mendapat keuntungan beberapa sen dan paling banyak pun beberapa ringgit.. bila kita mau untuk membelinya.. kita dengan tidak segan silu minta harga yg ditawarkan dikurangkan lagi.. padahal keuntungan mereka cuma sedikit.. bila agaknya kita akan berfikir untuk bersedakah.. membeli barangan mereka dengan tidak meminta diskaun dan kalau boleh.. lebihan duit syiling mungkin kita tidak perlu ambil.. kesedaran ini sepatutnya ada pada kita.. (terutamanya aku yg suka shopping d mall.. hmmm..) Ya Allah.. berikan lah aku kesedaran ini.. kasihan dengan penjual2 di luar sana.. berpanas.. dan kadang2 berhujan.. sedangkan apa yg mereka jual tidak jauh bezanya dgn apa yg ada d mall.. jadi.. semoga dengan cerita yg d paparkan kali ini kita mendapat manfaatnya.. InsyAllah.. :)

Pagi yang cerah. Tukang sayur langganan ibu-ibu berteriak lantang, "Sayur! Sayuu…ur!". Seketika ibu-ibu yang enggan pergi ke pasar mengerubungi Mang Sayur. Kalau bahan masakan yang diperlukan tidak banyak, maka menunggu Mang sayur lewat menjadi pilihan.

Seperti biasa, ibu-ibu ribut memilih sayuran dan bahan masakan lainnya di gerobak yang tidak seberapa besarnya. Mang Sayur hanya senyum-senyum saja. Dimatanya, satu ibu-ibu adalah satu sumber rupiah.

Setelah memilih bahan belanja, mulailah tawar menawar harga. Dengan sedikit memaksa, para ibu meminta harga spresial. Susah payah Mang Sayur menerangkan bahwa dirinya hanya mengambil untung sedikit dari tiap-tiap sayuran. Tapi rupanya kekhawatiran kehilangan pelanggan membuatnya hanya bisa mengiyakan ketika para ibu mengumpulkan belanjaan yang sudah dipilih untuk kemudian membulatkannya ke bilangan yang rendah. "Udah Mang, segini jadi Rp 5.000 aja yah!".Padahal harga asli adalah Rp 5.400.

Sepele memang. Tapi persoalannya tidak jadi sepele jika Mang Sayur mengambil keuntungan itu justru dari tiap ratus rupiah yang dipotong. Tentu saja itu tidak termasuk biaya tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengayuh kereta gerobak mengelilingi rumah-rumah penduduk.

Lain waktu, seorang ibu penjaja gorengan dan kerupuk ringan lewat depan rumah. Ia tengah hamil tua. Tapi subhanallah, kondisi fisiknya tidak mengurangi semangatnya mengais rejeki. Padahal jarak yang ditempuh tidak dekat. Barang bawaanya pun banyak. Yang satu di tanggung di kepala. Lalu keresek besar masing-masing dibawa oleh keduatangannya. Iseng saya tanya keuntungan yang diperolehnya. Dengan jujur ibu itu menjawab kalau dirinya hanya mengambil seratus rupiah dari tiap bungkusnya. Padahal ia telah memiliki banyak anak dan otomatis membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan keuntungan yang tidak seberapa, masih saja barang dagangannya di tawar.

Fenomena diatas adalah realitas disekitar kita. Seorang pedagang kecil yang hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa dan kadang tidak mencukupi, harus berhadapan dengan pembeli yang menawar dengan harga sangat rendah. Tapi tentu saja, tawar menawar dalam sebuah transaksi adalah sesuatu yang lazim. Namun bukan konteks aktifitas tawar menawarnya yang menjadi persoalan. Tapi sikap kita sebagai konsumen ketika melakukan tawar menawar. Dibutuhkan sebuah perenungan ketika disatu sisi dengan tanpa perasaan bersalah menawar harga dengan sangat rendah untuk sebuah dagangan yang dijajakan pedagang kecil dan dalam waktu bersamaan mengambil barang dengan mudahnya ketika berjalan-jalan di Mall tanpa sedikitpun menggugat harga yang tertera di labelnya. Padahal keuntungan yang didapat sangat jauh berbeda.

Bisa jadi, tiap rupiah yang mereka kumpulkan hanya cukup untuk makan dan tidak lebih. Bahkan bisa jadi tidak cukup. Saya jadi teringat ketika belanja keperluan disebuah supermarket. Saat sedang memilih alat tulis, disebelah saya berdiri seorang bapak dengan sandal jepit dan topi lusuh. Dari rompi yang dikenakannya, saya menduga bapak itu seorang tukang ojek. Ia tampak lama menimang-nimang satu paket alat tulis. Tampaknya untuk dihadiahkan pada anaknya. Sikapnya yang lama membuat saya berpikir. Saya mengira-ngira kalau harganya yang memang cukup mahal membuatnya ragu-ragu. Harganya itu sebanding dengan beberapa kali bolak balik ngojek Akhirnya, setelah lama ia menimang-nimang, satu paket alat tulis itu disimpannya kembali. Lalu berjalan perlahan meninggalkan counter alat tulis. Mungkin baginya lebih baik membeli segantang beras. Sangat berbeda dengan sikap kita yang begitu mudahnya mengeluarkan rupiah demi rupiah untuk sesuatu yang tidak penting. Hanya untuk kesenangan belaka.

Saling mengikhlaskan ketika tawar menawar menjadi kunci. Semoga kita bisa bersikap bijak untuk menghargai usaha mereka tanpa perlu menjadi gundah di hati karena tidak berhasil menawar dengan harga paling rendah. Anggaplah itu sebagai shodaqoh. Apalagi mengambil sikap berbelanja ke tempat lain hanya karena beda beberapa ratus rupiah. Terkecuali jika kita memang sama membutuhkannya seperti mereka.

No comments:

Post a Comment

Blog Widget by LinkWithin