20 July 2009

Musibah, Antara Ujian dan Bencana

Ingatlah kisah seorang wanita yang bertemu dengan Abul Hasan ketika thawaf dengan wajah yang bersinar dan berseri-seri, padahal ia dalam keadaan duka cita yang dalam. Wanita itu mengisahkan bahwa ketika suaminya tengah menyembelih seekor kambing kurban, anaknya yang masih kecil dan senang bermain, tiba-tiba berujar kepada adiknya. "Maukah aku tunjukkan padamu bagaimana ayah menyembelih kambing?" Adiknya menjawab, "Baiklah." Maka disuruhlah sang adik berbaring dan disembelihlah leher adiknya itu.

Kemudian, dia merasa ketakutan setelah melihat darah keluar. Ia pun lari bersembunyi ke bukit. Disana, ia bertemu serigala yang kemudian menerkamnya. Sang ayah kemudian pergi mencari-cari anaknya itu hingga akhirnya ia sendiri mati kehausan. Dan, ketika wanita itu meletakkan anak bayinya untuk keluar mencari suaminya, tiba-tiba sang bayi merangkak menuju periuk yang berisi air panas. Ditariknya periuk tersebut, dan tumpahlah air panas mengenai badannya hingga habis melepuhkan kulit badannya.

Berita ini pun akhirnya terdengar oleh anaknya yang telah menikah dan tinggal di daerah lain, sehingga ia pun jatuh pingsan sampai menemui ajalnya. Kini, sang wanita itu tinggal sebatang kara di antara semua keluarganya.

Abul Hasan kemudian bertanya, "Bagaimanakah kesabaranmu menghadapi semua musibah yang sangat hebat itu?" Wanita tadi menjawab, "Tiada seorang pun yang dapat membedakan antara sabar dengan mengeluh, melainkan ia menemukan di antara keduanya ada jalan yang berbeda. Ada pun sabar dengan memperbaiki yang lahir, maka hal itu baik dan terpuji akibatnya. Adapun mengeluh, sesungguhnya ia tidak mendapat ganti apapun kecuali sia-sia belaka."

Sebuah musibah, seringkali ditafsirkan berbeda-beda. Ada yang memandangnya sebagai bencana, ada juga yang menganggapnya sebagai ujian dari Sang Khaliq. Sebagian orang bahkan lalu bertanya, apakah benar bahwa sebuah peristiwa sebagai ujian Allah? Ataukah justru adzab Allah yang diperuntukkan bagi makhluk-makhluk-Nya yang lalai?

Dalam Alquran, Allah memang telah berfirman kepada bangsa-bangsa yang menentang bahwa Allah mengirimkan adzab agar mereka sadar atau mendapatkan balasan dari perbuatan mereka. Namun, tak banyak yang menyadari itu sebagai adzab.

Namun begitu, tentu saja, awal yang baik adalah menjaga husnuzhan. Ketika musibah dipersepsi sebagai bencana, maka tidak akan jauh-jauh hasilnya. Orang akan merasakan kesengsaraan justru karena ia mempersulit diri dengan asumsinya tentang musibah yang datang kepadanya itu. Segala sesuatunya dikeluhkesahkan, disesali, diratapi, sehingga membuatnya terus terpuruk tak memiliki tenaga untuk bangkit mengatasi kesulitannya.

Ketika musibah dipersepsi sebagai azab, ada nuansa muhasabah yang mungkin terjadi. Ada kekuatan moral untuk bangkit memperbaiki diri. Sama ketika orang mempersepsi musibah sebagai ujian, yang melahirkan kesabaran untuk menjalaninya dan mengupayakan perbaikan dalam perilaku hidupnya.

No comments:

Post a Comment

Blog Widget by LinkWithin